Menceritakan Kembali Isi Cerpen
Pernahkan kita membaca cerpen yang sangat menarik sehingga
kita sangat ingin menceritakan isinya kepada orang lain? Apa
yang harus kita lakukan agar kita dapat menceritakan isi cerpen
itu dengan baik? Lalu, apa saja yang harus kita perhatikan agar
dapat menceritakan kembali dengan baik? Untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikutilah kegiatan-
kegiatan berikut ini tahap demi tahap sehingga kamu mampu
menceritakan kembali secara lisan isi cerpen.
1. Membaca Cerpen dan Mengapresiasikannya
Bacalah cerpen berikut ini dengan cermat! Ikutilah kata demi
kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dengan
penghayatan sungguh-sungguh. Rasakan suasana batin tokoh
yang terlibat di dalamnya. Bayangkan dan rasakan suasana latar
cerita. Ikuti jalinan cerita dari peristiwa satu ke peristiwa
lainnya. Pendek kata, lakukan kegiatan apresiasi sastra!
PASIEN
Waktu keberangkatan pesawat terbang yang akan saya
tumpangi menuju sebuah kota di mancanegara, ditunda dua
jam. Seorang ibu bertubuh sintal mengomel karena ia pasti
terlambat menghadiri upacara wisuda anaknya di kota yang
kami tuju itu. Seorang lelaki setengah baya yang tak putus-
putusnya merokok selama menunggu waktu keberangkatan
memukul keningnya. "Aduh, jadwal yang sudah disusun jadi
berantakan," katanya setengah berteriak. Berbagai komentar
sebagai reaksi atas keterlambatan keberangkatan itu terlontar
dari hampir setiap mulut calon penumpang yang akan
berangkat. Saya yang merasa tidak perlu menambah carut-
marut seperti itu melangkah ke restoran yang tidak jauh dari
ruang tunggu.
Beberapa calon penumpang lain juga mulai melangkah
meninggalkan ruang tunggu itu.
Di restoran itu saya hanya memesan secangkir kopi dan
sepotong croissant. Saya memilih duduk di pojok agar dapat
membaca buku yang baru saya beli dengan tenang. Saya
tenggelam dalam kisah yang dituturkan Gabniel Garcia Marquez
pada buku tipis terbitan Penguin itu. Belum setengah jam
dengan keasyikan itu seseorang menghampiri saya dan menarik
kursi di depan saya. Saya menoleh ke arahnya. Ia mengulurkan
tangan sambil menyebut namanya. Saya menyambut uluran
tangannya dengan menyebut nama saya.
"Perjalanan bisnis?" orang bernama Iskandar Zulkarnain itu
bertanya. "Oh, bukan. Seminar,"
Ia mengangguk. Setelah mengeluarkan sebungkus rokok
Marlboro dari saku jasnya, ia menawarkan sebatang rokoknya
kepada saya. Saya menolak dengan mengucapkan terima kasih.
"Anda tahu mengapa Anda yang saya datangi, bukan yang lain-
lain itu?" ia bertanya sambil mengarahkan ibu jarinya kepada
calon penumpang lain yang juga banyak di restoran itu. Saya
menggeleng.
"Karena itu," ujarnya sambil menunjuk buku tipis yang saya
pegang.
"Dari tadi saya lihat Anda tekun membaca di ruang tunggu itu.
Anda orang yang tahu menghargai waktu. Dan serius. Maaf,
saya mengganggu keasyikan Anda karena memilih duduk di sini.
Silakan terus membaca,"tuturnya sambil membungkuk
mengeluarkan sebuah majalah berbahasa Inggris dari tas yang
dibawanya. Setelah membalik-balik beberapa halaman majalah
itu, ia menyandar dan mulai membaca. Saya kembali membaca
cerita karangan Marquez sambil sesekali meliriknya. Melihat jas
yang dikenakannya dan majalah yang dibacanya, saya merasa
lelaki berusia sekitar 45 tahun ini adalah seorang pengusaha.
Orang-orang bisnis biasanya sangat mementingkan penampilan
seperti itu di samping hanya tertarik pada majalah bisnis. Ketika
ia menoleh ke arah saya, kebetulan saya sedang mengangkat
cangkir kopi. Dengan santun saya mengajaknya minum. Ia baru
sadar bahwa ia belum memesan apa-apa. Dengan isyarat, ia
memanggil pelayan dan memesan segelas cappucino, yang lima
menit kemudian diletakkan oleh pelayan di depannya. Ia segera
menyeruput minuman hangat itu. Setelah itu ia kembali
membaca majalahnya. Kalau tadi ia mengatakan bahwa saya
sangat menghargai waktu, kini saya pun beranggapan begitu
tentang dirinya. Ia lebih suka membaca daripada berbicara
dengan saya. Dan serius, seperti tadi ia menilai saya. Apakah
hanya karena persamaan itu ia memilih duduk di dekat saya di
restoran ini? Ataukah keasyikannya membaca itu hanya pretensi
dan merupakan pengantar ke arah tujuan yang sebenarnya?
Saya tidak berani mengambil kesimpulan apa pun. Satu jam
berlalu dan kami belum saling mengenal lebih jauh. Setelah
membaca tiga fiksi pendek dari kumpulan cerpen Garcia
Marquez, saya menutup buku tipis itu dan meletakkannya di
meja samping cangkir kopi. Pada waktu yang hampir bersamaan
ia menutup majalahnya dan memasukkannya kembali ke dalam
tasnya.
"Marquez," katanya. "Saya suka juga dia. Cuma saya lebih sering
membaca Ortega Y Gasset dan Pablo Neruda. Karya-karya dari
Ameria Latin memang dekat dengan kita. Semangatnya sama,
maklum dari dunia ketiga," ujarnya melanjutkan.
Saya menyambut kata-katanya dengan tersenyum. Rupanya ia
juga suka membaca karya sastra. Dugaan saya bahwa ia hanya
gemar membaca yang ada kaitannya dengan bisnis saja ternyata
meleset.
"Cuma ke London?" ia bertanya. Saya mengangguk.
"Saya harus ke beberapa kota. London, Paris, Zurich, dan Wina.
Sebenarnya saya sudah capek mondar-mandir begini, tapi Bos
tetap juga menyuruh saya,".
Ini orang penting, ujar saya dalam hati. Paling tidak orang
kepercayaan atasan. Berhadapan dengan orang seperti ini saya
lebih suka mendengar daripada berbicara.
"Sebagai frequent traveller saya suka menggunakan pelayanan
perusahaan penerbangan yang berbeda. Nah, baru kali ini
jadwal keberangkatan tertunda. Saya tidak akan mau lagi naik
pesawat perusahaan ini. Buang waktu," tuturnya melontarkan
kekesalannya. Setelah sekali lagi menyeruput cappucino di
depannya, ia bercerita tentang dirinya tanpa saya minta. Ia
bekerja di sebuah bank asing di Jakarta dengan kantor pusat di
London. Semula ia bertugas sebagai kepala departemen
sumberdaya, kemudian dipindahkan ke bagian kredit, dan
terakhir memegang jabatan kepala bagian valuta asing. Nah,
ketika bertugas di bagian terakhir inilah ia sering bepergian ke
mancanegara. Saya percaya saja karena saya memang tidak
tahu apa-apa tentang dunia perbankan. Semula ia tidak tertarik
bekerja di bank, tapi karena lamarannya ditolak di beberapa
tempat, akhirnya ia melamar ke bank tempatnya bekerja
sekarang. Karena ia lulus tes dan bahasa Inggrisnya bagus, ia
diterima dengan gaji awal yang lumayan. Belakangan, karena ia
telah akrab dengan dunia perbankan, ia merasa bahagia bekerja
di bank asing itu. Iskandar Zulkarnain yang berputri dua orang
dan keduanya duduk di SMA itu tak sempat menyudahi
riwayatnya karena panggilan terdengar melalui pengeras suara
di restoran agar semua penumpang segera kembali ke ruang
tunggu karena pesawat sebentar lagi akan tinggal landas. Setelah
beberapa jam terbang saya terbangun. Saya adalah penumpang
yang senantiasa tertidur dalam setiap kali perjalanan dengan
menggunakan pesawat terbang, betapapun singkat jarak terbang
itu. "Nyenyak sekali tidurnya," suara Iskandar Zulkarnain
terdengar dari kursi belakang. Saya menoleh ke arahnya. "Sejak
dua jam lalu saya pindah ke kursi ini," katanya. "Maksudnya
mau melanjutkan obrolan, eh, ternyata Anda tidur," lanjutnya
sambil terkekeh. Ia bisa pindah tempat seperti itu karena
belasan kursi penumpang memang kosong. Ternyata orang itu
benar-benar tidak menghargai waktu, pikir saya. Dalam
perjalanan sejauh ini ia masih saja ingin mengobrol. Dan ia
masih saja duduk di kursi belakang itu walaupun ia tahu di
sebelah saya ada penumpang lain dan obrolan tidak mungkin
dilakukan. Tiba-tiba penumpang di sebelah saya menawarkan
diri untuk pindah ke tempat Iskandar jika Iskandar memang
ingin mengobrol dengan saya. Celakanya, tawaran itu diterima
Iskandar. Saya tidak mungkin menyelamatkan diri lagi. Ketika ia
mulai berbicara lagi kantuk saya datang menyerang. Ceritanya
Olahraga dan Kebugaran sampai ke telinga saya antara
terdengar dengan tidak. Mata saya tiba-tiba terbelalak ketika ia
mengatakan di kursi belakang di tempatnya semula duduk ada
beberapa orang asing yang mencurigakan. "Jangan-jangan
mereka pembajak," katanya. Jantung saya berdebar keras.
"Sebagai aparat keamanan, tentunya Anda tahu bagaimana
mengatasi keadaan seandainya mereka jadi melakukan
pembajakan atau bagaimana mencegah jangan sampai
pembajakan itu terjadi," tuturnya dengan berbisik. Saya
menatapnya dengan perasaan heran. Aparat keamanan?
Mengapa ia menduga saya aparat keamanan? Apakah karena itu
ia sejak di pelabuhan udara tadi senantiasa ingin berada di
dekat saya? Saya menggeleng karena tidak percaya kepada
pendengaran saya dan sekaligus membantah dugaannya.
"Coba Anda pura-pura ke belakang dan amati mereka,
barangkali dugaan saya benar."
"Saya bukan aparat keamanan," jawab saya singkat karena saya
keberatan dengan desakannya itu. "Demi keselamatan semua
penumpang, Anda harus berbuat sesuatu. Cobalah ke belakang
dan amati mereka," katanya sambil menarik lengan saya.
"Saya bukan aparat keamanan," ujar saya agak keras. "Cobalah,"
sahutnya tanpa mempedulikan penjelasan saya. Entah apa yang
mendorong saya, permintaannya saya penuhi. Saya melangkah
ke jajaran kursi belakang pura-pura ingin ke toilet sambil
memperhatikan penumpang di setiap kursi yang saya lewati.
Dua penumpang kulit putih terdengar berdebat sambil berbisik
memperbincangkan sesuatu pada sebuah peta. Karena jarak
kursi mereka dengan toilet hanya satu meter dan mereka
berbahasa Inggris, saya menangkap sekilas pembicaraan
mereka. Keterlambatan pesawat, menurut yang seorang,
membuat mereka tak mungkin mencapai kota yang tertera pada
peta itu seperti yang direncanakan. Sementara yang seorang lagi
dengan yakin mengatakan mereka akan tiba di kota itu
walaupun kecepatan mobil yang mereka kendarai hanya 50 mil
per jam. Bahasa Indonesia, Bahasa Kebanggaanku Kelas IX SMP
dan MTs Setelah masuk ke toilet sebentar dan keluar, saya
melangkah ke kursi saya dengan perasaan lega. Iskandar
Zulkarnain si pengecut itu telah mendramatisasi keadaan secara
berlebihan. Akhirnya, ia sendiri yang ketakutan. Karena itu,
begitu saya duduk ia segera menyambut saya dengan
pertanyaan beruntung.
"Apa yang harus saya lakukan? Mungkinkah kita menyelamatkan
diri?
Apakah tidak perlu pilot segera kita beritahu?" Saya memandang
wajahnya yang ketakutan itu dengan tenang. "Jangan khawatir,"
jawab saya. "Mereka baru akan melakukan pembajakan dalam
penerbangan dari London ke Paris, bukan sekarang."
Mendengar kata-kata saya, ia menarik napas lega dan mengelus
dadanya.
"Alhamdulillah," ucapnya pelan. Setelah menyandar ke kursi,
mulutnya komat-kamit berdoa. Baru setelah itu ia memandang
saya dengan wajah berseri. "Bung," katanya. "Saya capek
mondar-mandir ke mancanegara seperti ini bukan karena
jaraknya yang jauh. Tapi karena rasa takut yang menyerang
saya setiap kali naik pesawat. Ketakutan itu terus menghantui
saya. Karena itu, saya selalu mencari teman mengobrol selama
penerbangan berapa lama pun penerbangan itu. Tadi, sebelum
saya pindah ke kursi ini saya mengobrol terus dengan
penumpang di sebelah saya. Karena ia mengantuk dan tertidur,
saya harus mencari teman lain, karena itu saya pindah ke kursi
belakang tadi. Selama menunggu Anda bangun, rasa takut saya
itu menjadi-jadi, terutama ketika tadi mendengar orang asing
itu berbisik-bisik terus tak henti-hentinya, membuka tas,
mengambil kertas lalu berbisik-bisik lagi."
"Apa yang Anda takutkan?" saya bertanya. "Saya takut kalau
pesawat ini mengalami kecelakaan, mendarat darurat atau
dibajak oleh teroris dan diledakkan. Perasaan seperti itu terus
menghantui saya setiap kali naik pesawat terbang, termasuk
sekarang ini." Saya terdiam. Lama saya berpikir. Perasaan itu
mungkin mulai menghantuinya begitu ia menginjakkan kaki di
pelabuhan udara. Karena itu, sejak di sana ia mulai mencari
teman untuk membunuh rasa takut itu. Hal yang sama juga
mungkin dilakukannya begitu memasuki pesawat. Saya yakin ia
sebenarnya tahu bahwa saya bukan aparat keamanan dan
Olahraga dan Kebugaran saya yakin ia juga tahu bahwa
pembajakan akan dilakukan antara London dan Paris seperti
yang saya katakan tadi hanyalah omong kosong. Tapi, itu sudah
cukup untuk menenteramkan hatinya.
Saya memandangnya. Ia menyandar sambil menutup mata. Saya
tahu ia hanya pura-pura saja tidur karena tangannya memegang
erat lengan kiri saya. Saya menutup mata. Sebelum tertidur
saya telah mengambil keputusan. Ketika akan berpisah di
pelabuhan udara London nanti, kepadanya akan saya berikan
kartu nama saya. Ia dapat menemui saya pada jam saya
berpraktek sore hari. Sebagai tanda persahabatan, saya akan
membebaskannya dari biaya konsultasi. Berdasarkan
pengalaman, saya tidak merasa ragu sedikit pun bahwa pasien
yang saya temui di perjalanan ini dapat disembuhkan.
Pernahkan kita membaca cerpen yang sangat menarik sehingga
kita sangat ingin menceritakan isinya kepada orang lain? Apa
yang harus kita lakukan agar kita dapat menceritakan isi cerpen
itu dengan baik? Lalu, apa saja yang harus kita perhatikan agar
dapat menceritakan kembali dengan baik? Untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikutilah kegiatan-
kegiatan berikut ini tahap demi tahap sehingga kamu mampu
menceritakan kembali secara lisan isi cerpen.
1. Membaca Cerpen dan Mengapresiasikannya
Bacalah cerpen berikut ini dengan cermat! Ikutilah kata demi
kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dengan
penghayatan sungguh-sungguh. Rasakan suasana batin tokoh
yang terlibat di dalamnya. Bayangkan dan rasakan suasana latar
cerita. Ikuti jalinan cerita dari peristiwa satu ke peristiwa
lainnya. Pendek kata, lakukan kegiatan apresiasi sastra!
PASIEN
Waktu keberangkatan pesawat terbang yang akan saya
tumpangi menuju sebuah kota di mancanegara, ditunda dua
jam. Seorang ibu bertubuh sintal mengomel karena ia pasti
terlambat menghadiri upacara wisuda anaknya di kota yang
kami tuju itu. Seorang lelaki setengah baya yang tak putus-
putusnya merokok selama menunggu waktu keberangkatan
memukul keningnya. "Aduh, jadwal yang sudah disusun jadi
berantakan," katanya setengah berteriak. Berbagai komentar
sebagai reaksi atas keterlambatan keberangkatan itu terlontar
dari hampir setiap mulut calon penumpang yang akan
berangkat. Saya yang merasa tidak perlu menambah carut-
marut seperti itu melangkah ke restoran yang tidak jauh dari
ruang tunggu.
Beberapa calon penumpang lain juga mulai melangkah
meninggalkan ruang tunggu itu.
Di restoran itu saya hanya memesan secangkir kopi dan
sepotong croissant. Saya memilih duduk di pojok agar dapat
membaca buku yang baru saya beli dengan tenang. Saya
tenggelam dalam kisah yang dituturkan Gabniel Garcia Marquez
pada buku tipis terbitan Penguin itu. Belum setengah jam
dengan keasyikan itu seseorang menghampiri saya dan menarik
kursi di depan saya. Saya menoleh ke arahnya. Ia mengulurkan
tangan sambil menyebut namanya. Saya menyambut uluran
tangannya dengan menyebut nama saya.
"Perjalanan bisnis?" orang bernama Iskandar Zulkarnain itu
bertanya. "Oh, bukan. Seminar,"
Ia mengangguk. Setelah mengeluarkan sebungkus rokok
Marlboro dari saku jasnya, ia menawarkan sebatang rokoknya
kepada saya. Saya menolak dengan mengucapkan terima kasih.
"Anda tahu mengapa Anda yang saya datangi, bukan yang lain-
lain itu?" ia bertanya sambil mengarahkan ibu jarinya kepada
calon penumpang lain yang juga banyak di restoran itu. Saya
menggeleng.
"Karena itu," ujarnya sambil menunjuk buku tipis yang saya
pegang.
"Dari tadi saya lihat Anda tekun membaca di ruang tunggu itu.
Anda orang yang tahu menghargai waktu. Dan serius. Maaf,
saya mengganggu keasyikan Anda karena memilih duduk di sini.
Silakan terus membaca,"tuturnya sambil membungkuk
mengeluarkan sebuah majalah berbahasa Inggris dari tas yang
dibawanya. Setelah membalik-balik beberapa halaman majalah
itu, ia menyandar dan mulai membaca. Saya kembali membaca
cerita karangan Marquez sambil sesekali meliriknya. Melihat jas
yang dikenakannya dan majalah yang dibacanya, saya merasa
lelaki berusia sekitar 45 tahun ini adalah seorang pengusaha.
Orang-orang bisnis biasanya sangat mementingkan penampilan
seperti itu di samping hanya tertarik pada majalah bisnis. Ketika
ia menoleh ke arah saya, kebetulan saya sedang mengangkat
cangkir kopi. Dengan santun saya mengajaknya minum. Ia baru
sadar bahwa ia belum memesan apa-apa. Dengan isyarat, ia
memanggil pelayan dan memesan segelas cappucino, yang lima
menit kemudian diletakkan oleh pelayan di depannya. Ia segera
menyeruput minuman hangat itu. Setelah itu ia kembali
membaca majalahnya. Kalau tadi ia mengatakan bahwa saya
sangat menghargai waktu, kini saya pun beranggapan begitu
tentang dirinya. Ia lebih suka membaca daripada berbicara
dengan saya. Dan serius, seperti tadi ia menilai saya. Apakah
hanya karena persamaan itu ia memilih duduk di dekat saya di
restoran ini? Ataukah keasyikannya membaca itu hanya pretensi
dan merupakan pengantar ke arah tujuan yang sebenarnya?
Saya tidak berani mengambil kesimpulan apa pun. Satu jam
berlalu dan kami belum saling mengenal lebih jauh. Setelah
membaca tiga fiksi pendek dari kumpulan cerpen Garcia
Marquez, saya menutup buku tipis itu dan meletakkannya di
meja samping cangkir kopi. Pada waktu yang hampir bersamaan
ia menutup majalahnya dan memasukkannya kembali ke dalam
tasnya.
"Marquez," katanya. "Saya suka juga dia. Cuma saya lebih sering
membaca Ortega Y Gasset dan Pablo Neruda. Karya-karya dari
Ameria Latin memang dekat dengan kita. Semangatnya sama,
maklum dari dunia ketiga," ujarnya melanjutkan.
Saya menyambut kata-katanya dengan tersenyum. Rupanya ia
juga suka membaca karya sastra. Dugaan saya bahwa ia hanya
gemar membaca yang ada kaitannya dengan bisnis saja ternyata
meleset.
"Cuma ke London?" ia bertanya. Saya mengangguk.
"Saya harus ke beberapa kota. London, Paris, Zurich, dan Wina.
Sebenarnya saya sudah capek mondar-mandir begini, tapi Bos
tetap juga menyuruh saya,".
Ini orang penting, ujar saya dalam hati. Paling tidak orang
kepercayaan atasan. Berhadapan dengan orang seperti ini saya
lebih suka mendengar daripada berbicara.
"Sebagai frequent traveller saya suka menggunakan pelayanan
perusahaan penerbangan yang berbeda. Nah, baru kali ini
jadwal keberangkatan tertunda. Saya tidak akan mau lagi naik
pesawat perusahaan ini. Buang waktu," tuturnya melontarkan
kekesalannya. Setelah sekali lagi menyeruput cappucino di
depannya, ia bercerita tentang dirinya tanpa saya minta. Ia
bekerja di sebuah bank asing di Jakarta dengan kantor pusat di
London. Semula ia bertugas sebagai kepala departemen
sumberdaya, kemudian dipindahkan ke bagian kredit, dan
terakhir memegang jabatan kepala bagian valuta asing. Nah,
ketika bertugas di bagian terakhir inilah ia sering bepergian ke
mancanegara. Saya percaya saja karena saya memang tidak
tahu apa-apa tentang dunia perbankan. Semula ia tidak tertarik
bekerja di bank, tapi karena lamarannya ditolak di beberapa
tempat, akhirnya ia melamar ke bank tempatnya bekerja
sekarang. Karena ia lulus tes dan bahasa Inggrisnya bagus, ia
diterima dengan gaji awal yang lumayan. Belakangan, karena ia
telah akrab dengan dunia perbankan, ia merasa bahagia bekerja
di bank asing itu. Iskandar Zulkarnain yang berputri dua orang
dan keduanya duduk di SMA itu tak sempat menyudahi
riwayatnya karena panggilan terdengar melalui pengeras suara
di restoran agar semua penumpang segera kembali ke ruang
tunggu karena pesawat sebentar lagi akan tinggal landas. Setelah
beberapa jam terbang saya terbangun. Saya adalah penumpang
yang senantiasa tertidur dalam setiap kali perjalanan dengan
menggunakan pesawat terbang, betapapun singkat jarak terbang
itu. "Nyenyak sekali tidurnya," suara Iskandar Zulkarnain
terdengar dari kursi belakang. Saya menoleh ke arahnya. "Sejak
dua jam lalu saya pindah ke kursi ini," katanya. "Maksudnya
mau melanjutkan obrolan, eh, ternyata Anda tidur," lanjutnya
sambil terkekeh. Ia bisa pindah tempat seperti itu karena
belasan kursi penumpang memang kosong. Ternyata orang itu
benar-benar tidak menghargai waktu, pikir saya. Dalam
perjalanan sejauh ini ia masih saja ingin mengobrol. Dan ia
masih saja duduk di kursi belakang itu walaupun ia tahu di
sebelah saya ada penumpang lain dan obrolan tidak mungkin
dilakukan. Tiba-tiba penumpang di sebelah saya menawarkan
diri untuk pindah ke tempat Iskandar jika Iskandar memang
ingin mengobrol dengan saya. Celakanya, tawaran itu diterima
Iskandar. Saya tidak mungkin menyelamatkan diri lagi. Ketika ia
mulai berbicara lagi kantuk saya datang menyerang. Ceritanya
Olahraga dan Kebugaran sampai ke telinga saya antara
terdengar dengan tidak. Mata saya tiba-tiba terbelalak ketika ia
mengatakan di kursi belakang di tempatnya semula duduk ada
beberapa orang asing yang mencurigakan. "Jangan-jangan
mereka pembajak," katanya. Jantung saya berdebar keras.
"Sebagai aparat keamanan, tentunya Anda tahu bagaimana
mengatasi keadaan seandainya mereka jadi melakukan
pembajakan atau bagaimana mencegah jangan sampai
pembajakan itu terjadi," tuturnya dengan berbisik. Saya
menatapnya dengan perasaan heran. Aparat keamanan?
Mengapa ia menduga saya aparat keamanan? Apakah karena itu
ia sejak di pelabuhan udara tadi senantiasa ingin berada di
dekat saya? Saya menggeleng karena tidak percaya kepada
pendengaran saya dan sekaligus membantah dugaannya.
"Coba Anda pura-pura ke belakang dan amati mereka,
barangkali dugaan saya benar."
"Saya bukan aparat keamanan," jawab saya singkat karena saya
keberatan dengan desakannya itu. "Demi keselamatan semua
penumpang, Anda harus berbuat sesuatu. Cobalah ke belakang
dan amati mereka," katanya sambil menarik lengan saya.
"Saya bukan aparat keamanan," ujar saya agak keras. "Cobalah,"
sahutnya tanpa mempedulikan penjelasan saya. Entah apa yang
mendorong saya, permintaannya saya penuhi. Saya melangkah
ke jajaran kursi belakang pura-pura ingin ke toilet sambil
memperhatikan penumpang di setiap kursi yang saya lewati.
Dua penumpang kulit putih terdengar berdebat sambil berbisik
memperbincangkan sesuatu pada sebuah peta. Karena jarak
kursi mereka dengan toilet hanya satu meter dan mereka
berbahasa Inggris, saya menangkap sekilas pembicaraan
mereka. Keterlambatan pesawat, menurut yang seorang,
membuat mereka tak mungkin mencapai kota yang tertera pada
peta itu seperti yang direncanakan. Sementara yang seorang lagi
dengan yakin mengatakan mereka akan tiba di kota itu
walaupun kecepatan mobil yang mereka kendarai hanya 50 mil
per jam. Bahasa Indonesia, Bahasa Kebanggaanku Kelas IX SMP
dan MTs Setelah masuk ke toilet sebentar dan keluar, saya
melangkah ke kursi saya dengan perasaan lega. Iskandar
Zulkarnain si pengecut itu telah mendramatisasi keadaan secara
berlebihan. Akhirnya, ia sendiri yang ketakutan. Karena itu,
begitu saya duduk ia segera menyambut saya dengan
pertanyaan beruntung.
"Apa yang harus saya lakukan? Mungkinkah kita menyelamatkan
diri?
Apakah tidak perlu pilot segera kita beritahu?" Saya memandang
wajahnya yang ketakutan itu dengan tenang. "Jangan khawatir,"
jawab saya. "Mereka baru akan melakukan pembajakan dalam
penerbangan dari London ke Paris, bukan sekarang."
Mendengar kata-kata saya, ia menarik napas lega dan mengelus
dadanya.
"Alhamdulillah," ucapnya pelan. Setelah menyandar ke kursi,
mulutnya komat-kamit berdoa. Baru setelah itu ia memandang
saya dengan wajah berseri. "Bung," katanya. "Saya capek
mondar-mandir ke mancanegara seperti ini bukan karena
jaraknya yang jauh. Tapi karena rasa takut yang menyerang
saya setiap kali naik pesawat. Ketakutan itu terus menghantui
saya. Karena itu, saya selalu mencari teman mengobrol selama
penerbangan berapa lama pun penerbangan itu. Tadi, sebelum
saya pindah ke kursi ini saya mengobrol terus dengan
penumpang di sebelah saya. Karena ia mengantuk dan tertidur,
saya harus mencari teman lain, karena itu saya pindah ke kursi
belakang tadi. Selama menunggu Anda bangun, rasa takut saya
itu menjadi-jadi, terutama ketika tadi mendengar orang asing
itu berbisik-bisik terus tak henti-hentinya, membuka tas,
mengambil kertas lalu berbisik-bisik lagi."
"Apa yang Anda takutkan?" saya bertanya. "Saya takut kalau
pesawat ini mengalami kecelakaan, mendarat darurat atau
dibajak oleh teroris dan diledakkan. Perasaan seperti itu terus
menghantui saya setiap kali naik pesawat terbang, termasuk
sekarang ini." Saya terdiam. Lama saya berpikir. Perasaan itu
mungkin mulai menghantuinya begitu ia menginjakkan kaki di
pelabuhan udara. Karena itu, sejak di sana ia mulai mencari
teman untuk membunuh rasa takut itu. Hal yang sama juga
mungkin dilakukannya begitu memasuki pesawat. Saya yakin ia
sebenarnya tahu bahwa saya bukan aparat keamanan dan
Olahraga dan Kebugaran saya yakin ia juga tahu bahwa
pembajakan akan dilakukan antara London dan Paris seperti
yang saya katakan tadi hanyalah omong kosong. Tapi, itu sudah
cukup untuk menenteramkan hatinya.
Saya memandangnya. Ia menyandar sambil menutup mata. Saya
tahu ia hanya pura-pura saja tidur karena tangannya memegang
erat lengan kiri saya. Saya menutup mata. Sebelum tertidur
saya telah mengambil keputusan. Ketika akan berpisah di
pelabuhan udara London nanti, kepadanya akan saya berikan
kartu nama saya. Ia dapat menemui saya pada jam saya
berpraktek sore hari. Sebagai tanda persahabatan, saya akan
membebaskannya dari biaya konsultasi. Berdasarkan
pengalaman, saya tidak merasa ragu sedikit pun bahwa pasien
yang saya temui di perjalanan ini dapat disembuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar